Thursday, December 31, 2015

Maraknya Penggunaan Whitening Cream di Kalangan Anak Muda sebagai Trend Kekinian

Maraknya Penggunaan Whitening Cream di Kalangan Anak Muda sebagai Trend Kekinian

Wakhidatul Sisca Putri Anggraini
13020154020
sisca.anggoro@yahoo.com
Abstrak
Definisi cantik bagi para remaja wanita saat ini bukanlah dinilai dari perilaku, sifat dan karakter seseorang, melainkan dari tampilan fisik belaka. Cantik menurut pandangan para wanita sama, yakni mereka yang berbadan tegak, seksi, ramping, berambut panjang dan halus, serta berkulit putih, mulus dan bersih. Hal ini tidak lain karena pengaruh budaya barat, khususnya budaya Korea, yang menginfluensi para wanita untuk tampil sempurna layaknya artis papan atas. Dengan tampilan sedemikian rupa, wanita pada jaman sekarang akan lebih percaya diri dalam hal berekspresi karena mereka merasa diri mereka cantik. Hal itu menyebabkan maraknya penggunaan whitening cream sebagai penunjang kecantikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia cantik merupakan kata sifat yang berarti elok, molek, indah, dan mengacu pada bentuk fisik seperti tubuh ataupun wajah seseorang. Semua hal tersebut hanya dimiliki dan diperlukan oleh wanita. Kecantikan digambarkan layaknya perempuan yang terlihat sempurna dari luar. Putih, berseri, bersinar dan bersih dari bercak hitam apapun. Kecantikan seorang wanita terletak pada dua titik utama, yakni tubuh dan wajah. Jika kedua titik ini berhasil dimiliki oleh seorang wanita dengan sempurna, dengan kata lain keindahannya diatas rata-rata, maka dia dianggap cantik sempurna, patut dibanggakan dan diagungkan terutama bagi para kaum lelaki. Maka wanita berlomba-lomba mencari tingkat kesempurnaan tersebut dengan menggunakan krim pemutih dan pencerah wajah atau whitening cream.
Kata kunci: whitening cream, budaya pop, cantik, krim pencerah wajah, wanita
Pendahuluan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh budaya pop terhadap cara pandang wanita dalam memilih menggunakan whitening cream dan dampak apa saja yang ditimbulkan dari adanya budaya pop tersebut. Topik ini terbilang sangat menarik mengingat banyaknya instansi-instansi terkait yang memanfaatkan produk hasil budaya pop ini sebagai kesempatan untuk meraup untung dengan menawarkan berbagai produk ilegal dan berbahaya. Adanya monopoli terbukti dengan banyaknya kasus penipuan yang menjanjikan kecantikan secepat kilat ala krim pencerah palsu. Dokter-dokter gadungan pun bermunculan seiring semakin berkembangnya rumah kecantikan yang menawarkan perawatan dengan biaya yang pas di kantong atau lebih tepatnya murah.
Sehubungan dengan minimnya waktu penelitian, kegiatan pengembangan bukti seperti wawancara dan observasi dirasa kurang efektif untuk mencapai waktu penyetoran yang telah ditentukan. Untuk itu, metode yang digunakan dalam penelitian ini fokus terhadap kajian pustaka, pengumpulan data dan atau penelitian dengan subjek yang mendekati sama, yakni tentang penggunaan whitening cream dikalangan wanita.
Whitening cream merupakan salah satu jenis kosmetik moderen yang fungsinya untuk mencerahkan wajah. Kosmetik itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu kosmetik tradisional dan kosmetik moderen. Kosmetik tradisional dibuat dan diolah secara tradisional dengan menggunakan bahan-bahan yang alami, sebaliknya pembuatan kosmetik moderen didominasi oleh bahan-bahan yang bersifat kimia dan banyak diantaranya sangat berbahaya untuk wajah. Perbedaan diantara keduanya didasarkan kepada lama waktu yang komsumen butuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hasil pengunaan kosmetik tradisional cenderung lebih lama dibandingkan dengan kosmetik moderen. Itulah salah satu alasan kenapa wanita lebih memilih kosmetik moderen. Selain hasil yang memuaskan, para wanita tidak perlu membutuhkan waktu lama untuk menikmati transformasi kecantikan mereka.
Masyarakat Indonesia cenderung memiliki warna kulit sawo matang atau kuning kecoklatan akibat terkena terik matahari, pasalnya Indonesia merupakan wilayah yang memiliki iklim tropis. Namun itulah identitas rakyat Indonesia yang berusaha digeser oleh kaum wanita dengan mengubah warna kulit mereka. Di sisi lain, mereka sadar bahwa kulit berwarna kecoklatan dianggap seksi atau eksotis. Saat ini, pengertian kecantikan sudah berubah dan mendoktrin kaum wanita Indonesia terhadap identitas negara lain.
Wanita merupakan sasaran utama para instansi periklanan karena wanita dianggap mudah terperdaya dan terinfluensi oleh hal-hal yang berbau kosmetik dan penunjang kecantikan. Periklanan bisa dibagi menjadi dua, yakni periklanan langsung dan tidak langsung. Periklanan langsung berupa penyebaran brosur, pengadaan acara khusus untuk kegiatan promosi, sedangkan periklanan tidak langsung misalnya pemberitaan, artikel, wawancara dalam media pers, radio dan televisi (Dhamayanti, 2011). Namun publikasi produk yang paling memiliki efek besar adalah publikasi atau periklanan melalui media televisi. Televisi tidak hanya mengemas produk secara dua dimensi saja, namun juga menggunakan video, animasi dan bahkan model dari kalangan artis atau endorser. Pada iklan, endorser berarti penggunaan tokoh pendukung yang dapat digunakan sebagai pameran iklan yang bertujuan untuk memperkuat pesan yang disampaikan (Dhamayanti,2011).
Dewasa ini pencitraan kecantikan tidak hanya dilakukan oleh wanita karier saja namun juga para remaja atau pelajar (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015). Dulu, wanita hanya berdandan ketika dia berada di lingkup pekerjaan karena tuntutan profesi yang mengharuskan mereka tampil menarik, seperti pramugari, pegawai bank, sekertaris perusahaan dan sebagainya. Selain otak dan keahlian, penyedia pekerjaan memang telah menyertakan syarat penampilan yang menarik untuk para wanita yang bekerja di bidang ini. Namun saat ini, pelajar berpenampilan hampir seperti wanita karir khususnya para anak kuliah. Penampilan mereka bisa dibilang "menor" atau berlebihan untuk anak seusia mereka dengan status pelajar yang mereka miliki. Terkadang sekolah dan kampus bukan lagi sebagai tempat kegiatan belajar mengajar, melainkan sebagai tempat ajang kepopuleran dan persaingan kecantikan antar pelajar. Hal ini tidak lain karena kebebasan berekspresi dalam hal penampilan yang tidak pernah mereka dapatkan selama masih duduk di bangku sekolah yang mengharuskan mereka memakai seragam.?
Diskusi

a. Definisi Cantik
Cantik didefinisikan sebagai sesuatu yang mahal, konsumtif dan tidak menjadi diri sendiri berdasarkan pandangan masyarakat luas seiring munculnya berbagai fasilitas dan klinik kecantikan (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015). Cantik itu mahal karena untuk menjadi cantik, wanita harus membeli produk kecantikan. Cantik itu konsumtif karena wanita harus selalu mengkonsumsi produk tersebut secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama sebagai penunjang kecantikannya. Sedangkan cantik itu tidak menjadi diri sendiri karena wanita cenderung mengimitasi gaya dan penampilan artis dan kalangan menengah atas daripada harus menjadi diri sendiri yang apa adanya.
Dengan perkembangan jaman, arti cantik akan selalu berubah-ubah sebab kecantikan apabila dilihat dari konstruksi sosial juga tidak pernah merupakan realitas yang bersifat statis, namun merupakan realitas yang bersifat plural, dinamis, dan elastis (Samuel, 2012: 19). Kecantikan saat ini sudah menjadi produk budaya pop yang definisi dan fungsinya mengikuti perkembangan jaman itu sendiri. Bagaimana dan seperti apa jaman itu berlaku, maka kecantikan akan seperti apa dan bagaimana orang menganggapnya. Jika cantik dianggap sebagai wanita yang berkulit hitam dan berambut keriting, maka itulah cantik. Jika cantik dianggap wanita yang berkulit putih, halus dan merona, maka itulah cantik. Cantik adalah sesuatu hal yang relatif dan tidak memiliki nilai paten untuk standarisasinya.
b. Whitening Cream dalam Penelitian
Sebuah penelitian yang berjudul "Analisis Hidrokuinon Dalam Sediaan Krim Malam 'Cw1' Dan 'Cw2' Dari Klinik Kecantikan 'N' Dan 'E' Di Kabupaten Sidoarjo" oleh Katya Wilih Sarah dari Fakultas Farmasi Universitas Negeri Surabaya menyimpulkan kebenaran adanya zat berbahaya hidrokuinon tersebut pada krim malam. Sistem kerja hidrokuinon yakni sebagai pencerah wajah yang menghambat oksidasi terosin dan kerja aktifitas enzim tirosinase yang mengurangi melanin secara langsung dan menimbulkan efek jangka pendek maupun jangka panjang. Whitening cream yang mengandung hidrokuinon tergolong kedalam obat keras yang penggunaannya harus sesuai dengan resep dokter.
Dari Universitas Trunojoyo Madura, penelitian yang berjudul "Konstruksi Kecantikan Di Kalangan Wanita Karier" yang dilakukan oleh Deni Ria Rukmawati dan Iskandar Dzulkarnain prodi Sosiologi FISIB juga menyimpulkan bahwa keinginan wanita untuk tampil cantik mendorong mereka untuk menghalalkan berbagai cara salah satunya dengan membeli produk-produk kecantikan yang tidak memiliki ijin ataupun dengan produk kecantikan yang memiliki bahan kimia berbahaya seperti merkuri. Namun demikian, para wanita rela menanggung segala resiko yang sudah jelas didepan mata hanya karena agar terlihat cantik. Kecantikan layaknya sudah menjadi gaya hidup yang tidak terlepas dari tren masa kini. Selama mereka masih terlihat cantik, rasanya akan sulit untuk melepas mereka dari ketergantungan untuk merawat diri secara moderen, mahal dan berdampak buruk bagi kesehatan mereka sendiri.
Penelitian yang dilakukan oleh Dinda Surya Pratiwi mahasiswi jurusan Psikologi di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang berjudul "Hubungan Konsep Diri Remaja Putri Dengan Perilaku Membeli Produk Kosmetik Pemutih Wajah" menjelaskan bahwa alasan remaja putri membeli krim pemutih atau whitening cream adalah adanya kecenderungan wanita untuk tampil sama dengan teman sebayanya dan hanya mengikuti stereotip umum yang diterima masyarakat. Dia juga menjelaskan bahwa kecenderungan remaja putri untuk membeli krim pemutih juga didasarkan atas keresahan mereka dalam mengahadapi perubahan fisik masa remaja. Terdapat perasaan tidak puas yang mendorong mereka untuk berusaha mencapai keadaan diri ideal yang diimpikan dengan cara membeli dan menggunakan produk kecantikan diantaranya adalah krim pemutih.

c. Budaya Korea = Budaya Massa
Pengaruh budaya pop yang berasal dari Korea, memiliki pengaruh besar dan kuat dalam penggunaan krim pemutih tidak hanya di Indonesia namun di seluruh negara di dunia. Sehingga sering kali kecantikan pada wanita saat ini diibaratkan wanita Korea (sebagaimana yang sedang popular saat ini) (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015). Bahkan fenomena ini disebut dengan "demam K-Pop" yang berarti semua orang di seluruh dunia mengalami semacam kecanduan terhadap drama, musik, tarian, fashion dan bahkan bentuk tubuh dan wajah mereka. Orang Korea asli memiliki warna kulit putih cerah yang menawan. Bahkan para aktor dan artis disana rela melakukan operasi plastik berkali-kali demi mendapatkan bentuk tubuh yang mereka inginkan dan menginspirasi masyarakat. Mereka menambah dan mengurangi setiap lekuk tubuh yang mereka anggap kurang sempurna. Hal ini banyak menimbulkan pengimitasian dan mimikri terhadap penampilan orang Korea di seluruh dunia dari mulai anak-anak, remaja, dewasa bahkan orang yang lebih tua. Hasil test yang dilakukan di Amerika menggambarkan bahwa 88% dari wanita yang berusia 18 tahun keatas berusaha mempercantik diri dengan menggunakan kosmetik dan mereka merasa bahwa kosmetik tersebut akan membuat mereka lebih cantik dan percaya diri (Shannon, 1997). Amerika juga termasuk ke dalam salah satu negara yang terkontaminasi oleh budaya Korea. Hal ini terbukti pada adanya e-PenPal yang didominasi oleh postingan-postingan, capture, dan status mereka yang tidak lain adalah hal-hal yang berbau Korea.
Indonesia juga merupakan salah satu negara dengan jumlah penggemar budaya Korea terbanyak hingga saat ini. Apalagi dalam hal ini, budaya Korea yang notabene budaya timur yang secara normatif memiliki kedekatan dengan karakter budaya masyarakat Indonesia (Mariani dalam The Korean Herald, 2008 : 152). Banyak aktor, artis, girlband dan boyband dari sana sengaja diundang untuk menghibur masyarakat Indonesia yang akan histeris jika melihat bintang yang mereka agungkan datang ke negara mereka. Kehisterisan mereka tidak hanya cukup di depan panggung, bahkan banyak masyarakat Indonesia yang rela untuk menghabiskan banyak biaya untuk mengimitasi fashion yang Korea miliki. Budaya pop ini benar-benar sukses mengifluensi masyarakat luas, terutama dalam bidang kecantikan misalnya penggunaan krim pemutih. Kecantikan yang mengusung whitening, yang semakin menguatkan anggapan bahwa cantik adalah yang berkulit putih (Syata, 2012). Selain itu perempuan yang merasa tidak puas terhadap tubuhnya akan selalu melakukan upaya-upaya yang dianggap dapat membantu mempercantik badannya sesuai apa yang diinginkan (Indraswarti, 2004: 3).


d. Cantik Itu Menggunakan Whitening Cream
Whitening cream menjelma menjadi ramuan ajaib yang mampu mencerahkan wajah para kaum hawa dalam sekejab memang benar adanya. Kulit mereka benar-benar berubah merona, mengkilat dan cerah secerah embun di pagi hari. Biasanya whitening cream dijual dalam bentuk paket yang terdiri atas krim pagi, krim pelindung dari sinar matahari dan krim malam. Krim malam atau night cream inilah yang bereperan aktif dalam mencerahkan kulit wajah di malam hari. Penggunaannya pun tidak boleh terlalu berlebihan karena akan menimbulkan muka memerah dan seperti memar di wajah sesuai dengan keterangan para dokter yang bertugas di beberapa klinik kecantikan. Namun krim inilah yang paling berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan karena mengandung bahan-bahan kimia seperti merkuri dan hidrokuinon. Merkuri (Hg) atau Air Raksa termasuk logam berat berbahaya, yang dalam konsentrasi kecil pun dapat bersifat racun (Perempuan Bergerak: Perempuan dan Bencana, 2008) Hidrokuinon banyak terdapat didalam sediaan krim malam (Sarah, 2014). Padahal sudah jelas bahwa penggunaan hidrokuinon dilarang menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berdasarkan Public Warning/Peringatan Nomer KH.00.01.43.2503 tanggal 11 Juni 2009 (BPOM, 2009). Untuk klinik kecantikan yang menggunakan merkuri sebagai bahan utama, setidaknya harus bersiap-siap untuk berhubungan dengan pihak yang berwajib karena undang-undang sudah diterangkan dengan jelas.
Banyak fasilitas atau perawatan dan produk kecantikan yang ditawarkan untuk para wanita dari mulai yang masih dalam batas aman untuk digunakan hingga yang berbahaya bagi kesehatan. Fasilitas maupun produk yang masih dalam batas aman digunakan biasanya sesuai dengan resep dokter ahli kecantikan yang menawarkan facial, body spa, dan lainnya. Sedangkan untuk fasilitas penunjang kecantikan yang berbahaya misalnya penggunaan mercury, laser, operasi sedot lemak, dan bahkan operasi plastik. Untuk beberapa fasilitas kecantikan tersebut memang dibutuhkan biaya yang sangat mahal untuk menikmatinya dan biasanya hanya dilakukan oleh kalangan menengah atas. Penggunaan whitening cream tidak termasuk ke dalam penunjang kecantikan yang aman karena banyak penelitian yang membuktikan bahwa whitening cream mengandung mercury dan bahan-bahan kimia lainnya yang sangat berbahaya bagi kesehatan, dan resiko yang paling fatal adalah menimbulkan kanker kulit.

e. Pengaruh Perkembangan Teknologi, Media Massa dan Perusahaan Kosmetik
Perkembangan teknologi juga ikut mendukung semakin pesatnya budaya pop penggunaan krim pemutih dikalangan masyarakat terutama kaum hawa, misalnya keberadaan online shop. Dalam online shop, siapapun bebas mempromosikan produknya bahkan melakukan transaksi jual beli dan tawar menawar barang dagangan. Orang tidak perlu menghabiskan waktu lama untuk membeli apapun yang mereka butuhkan. Kemudahan yang ditawarkan ini menimbulkan maraknya jual beli krim pemutih dalam dunia online. Kosmetik yang ditawarkan di online shop ada berbagai macam,  antara lain: masker, lulur, krim pemutih wajah, lotion pemutih, pemutih gigi, sabun pemutih, pelangsing, penggemuk badan, peninggi badan, lipstik, serum wajah, shampo, kuteks dan lain sebagainya. Mereka tidak perlu repot untuk pergi ke dokter mengkonsultasikan keluhan kekurangan bentuk fisik mereka, karena dalam deskripsi produk sudah tertera fungsi dan bagaimana cara pemakaian produk yang ditawarkan.
Perkembangan teknologi juga mempengaruhi masuknya budaya asing dengan mudah ke dalam negeri tanpa adanya proses penyaringan. Kita dengan mudah melihat, mencontoh, bahkan mengapresiasikan budaya asing ke dalam budaya kita secara "blak-blakan". Hal yang paling fatal ketika seseorang sudah hilang ingatan dengan budayanya sendiri dan lebih mempelajari budaya lain yang dianggap lebih moderen. Tanpa menyesuaikan kesesuaian budaya baru tersebut dengan budaya asal, seseorang dengan mudah melirik budaya yang bahkan baru dia lihat dan baru dia dengar. Lambat laun, budaya Indonesia bisa menjadi semakin kuno dan tidak terlestarikan sehingga akan mudah berubah menjadi budaya marginal (pinggiran). Hal ini sudah dibuktikan dengan semakin punahnya budaya Jawa, misalnya tarian, lagu, makanan, baju tradisional, bahkan Bahasa Jawa. Rata-rata siswa hanya menerima pendidikan Bahasa Jawa hanya sampai jenjang SMP karena kebudayaan Jawa dianggap tidak produktif dan berguna lagi di masa depan. Padahal, anak muda, khususnya yang berada dibangku sekolah lah yang akan menjadi benteng negara dalam menghadapi pengaruh budaya luar. Lalu, akan bagaimana nasib bangsa Indonesia jika kecenderungan generasi mudanya lebih diberi pengetahuan dan diterapkan budaya asing yang notabene tidak sesuai dengan identitas budaya Indonesia.
Media massa, dalam hal ini sedemikian rupa terkontaminasi budaya Barat (Perempuan Bergerak: Perempuan dan Bencana, 2015). Produk-produk luar negeri tidak melalui proses pemfilteran terlebih dahulu namun langsung masuk kedalam media cetak dan elektronik sebagai produk disarankan wajib pakai. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih awam terhadap kelayakan produk-produk kosmetik pun tidak ambil pusing dalam memilih produk kecantikan. Alhasil mereka terperangkap dan menjadi korban iklan "bodong" yang juga menawarkan produk-produk dengan harga murah dan diskon besar-besaran. Kecantikan diesksploitasi untuk tujuan komersial sang pemilik iklan beserta produknya dalam industri mereka (Syata, 2012). Fakta-fakta yang coba ditanamkan ke dalam pikiran konsumen oleh iklan, semakin didukung oleh penggunaan model dan artis terkenal (yang tentunya cantik-cantik dan memiliki postur tubuh yang ideal yang nyaris sempurna) sebagai iklan produk kosmetika tersebut (Pratiwi, 2011).
Mengetahui maraknya whitening cream di pasaran, perusahaa-perusahaan besar yang bergerak dalam bidang kosmetik semakin mengibarkan benderanya untuk bersaing dengan perusahaan lain. Untuk menghadapi persaingan tersebut, perusahaan harus selalu peka terhadap perkembangan atau trend dalam dunia kosmetika (Mastura, 2010). Perusahaan yang saling bersaing tersebut selalu memberikan inovasi produk-produk baru yang siap menjawab masalah kecantikan para wanita. Kecantikan wanita sudah menjadi bahan bisnis dan penghasil dolar bagi mereka. Produk penunjang kecantikan mereka produksi secara massa dengan berbagai macam jenis yang siap pakai untuk kaum hawa. Produksi secara massa tersebut disambut baik oleh para konsumen dengan dalih produk akan tersebar luas dan dapat dinikmati oleh para konsumen secara merata. Ketika banyak orang membeli dan memakai produk yang sama maka terjadilah budaya massa. Whitening cream mulai digunakan oleh beberapa orang saja hingga masyarakat luas terpengaruh dan mulai menggunakannya juga. Whitening cream berperan sebagai produk hasil budaya massa dan pabrik adalah sebagai alat duplikasi produk budaya massa.

f. Ketika Kecantikan Menjadi Budaya Pop
Budaya pop tidak pernah mati karena selalu mengusung tren masa kini yang terbaru dan terpopuler di kalangan remaja, khususnya wanita. Sebagian besar remaja melihat ke budaya populer untuk mencari petunjuk tentang hidup. Erikson mengemukakan bahwa remaja merupakan masa dimana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas (Gunarsa, 2009 : 7). Di mana para wanita yang ingin tampil cantik maka akan selalu berlomba-lomba untuk menjadikan dirinya cantik, secantik tren masa kini (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015). Sifatnya yang dapat diperbaharui menguntungkan bagi siapapun yang memanfaatkannya di bidang komersial untuk memperoleh keuntungan. Sayangnya para instansi komersial tersebut tidak memperhatikan kualitas dan tingkat kelayakan produk hasil budaya pop tersebut melainkan hanya mengoptimalkan keuntungan yang dicapai dan banyaknya massa yang terpengaruh.
Ketika kecantikan yang ideal dengan para wanita sudah menjadi tren, mereka akan selalu melakukan pembaharuan. Di mana kaum wanita akan selalu melakukan perubahan pada fisiknya (outer beauty) sesuai dengan definisi cantik saat ini (tren) (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015). Pada saat inilah wanita telah kehilangan identitasnya. Wanita yang semestinya identik dengan rambut panjang, rok, kepolosan, keanggunan, dan keibuan bisa bertransformasi menjadi wanita tren masa kini yang mungkin mengubah fashion mereka, seperti membuka bagian tubuh mereka yang indah demi terlihat cantik dan trendy.
Cantik juga telah menjadi bagian dari gaya hidup kaum wanita, di mana mereka akan selalu berlomba-lomba untuk menjadikan dirinya cantik sesuai dengan tren kecantikan masa kini, selain itu cantik juga menjadikan seseorang untuk memiliki sifat konsumerisme, di mana para wanita akan selalu melakukan perawatan kecantikan dan mereka akan selalu mengkonsumsi produk secara terus menerus agar dirinya menjadi wanita yang cantik (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015). Bagi wanita, krim pemutih ibarat sebuah narkotika yang bisa membuat mereka terlihat seperti pecandu. Mereka tidak akan lepas dari sifat konsumtif menggunakan whitening cream. Karena wanita telah mendapatkan hasil sempurna pada kali pertama pemakaian whitening cream, sehingga keinginan untuk menjadi sempurna terus memaksa mereka menjadikan whitening cream sebagai narkotika yang harus selalu dikonsumsi.

g. Cantik dalam Dunia Pekerjaan dan Pendidikan
Dengan semakin banyaknya lowongan pekerjaan yang menerapkan "berpenampilan menarik" tidak dapat dipungkiri lagi bahwa saat ini banyak sekali para wanita yang ingin tampil lebih cantik dengan memoles wajahnya dengan berbagai make-up dan memakai pakaian yang lebih terbuka agar terlihat menarik karena dengan berpenampilan menarik dan terlihat cantik seperti tren masa kini kemungkinan akan mempermudahkan untuk terjun kedunia pekerjaan (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015). Di setiap perusahaan akan memiliki standar yang berbeda dalam mengutamakan penampilan pegawainya, misalnya saja pegawai bank terutama (di bagian teller dan customer service) dan juga SPG (Sales Promotion Girls), yang mana akan berhadapan langsung dengan publik sehingga mereka para pekerja dituntut untuk berpenampilan yang menarik, cantik, dan enak dilihat (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015).
Bagi remaja putri penilaian diutamakan terhadap kehalusan wajah dan kelangsingan tubuh (Gunarsa, 2009 : 49). Bagi mereka yang memiliki kulit gelap dan menganggap cantik itu berkulit putih, maka akan memiliki low self-esteem atau penilaian rendah terhadap diri sendiri. Mereka akan merasa "minder" atau malu untuk bersaing bahkan sebelum mereka memulai persaingan itu. Walaupun mungkin mereka memiliki otak dan skill atau keahlian yang mumpuni, mereka akan tetap bersembunyi dalam lubang karena takut kalah dengan yang lain. Selain itu, persyaratan "berpenampilan menarik" yang selalu tertera pada lowongan pekerjaan akan mengubur mereka dalam jurang ketidakpercayaan diri yang paling dalam. Mereka akan cenderung mengeliminasi lowongan pekerjaan yang memiliki persyaratan tersebut karena perasaan khawatir tidak akan pernah diterima dengan kondisi fisik dan penampilan yang mereka anggap buruk. Untuk mereka yang memiliki kulit gelap dan kekurangan dalam penampilan namun memiliki high self-esteem atau penilaian tinggi terhadap diri sendiri, menganggap itu bukan sebagai akhir dari segalanya dan akan selalu melakukan usaha-usaha agar tidak kalah saing dengan wanita lain. Sehingga wanita (feminisme) akan menjadikan dirinya cantik seperti cantik masa kini (trend), sesuai dengan apa yang mereka dapat dari iklan, tanpa mereka bertatap muka secara langsung, inilah tahap objektivitas (Rukmawati dan Dzulkarnain, 2015).
Tampil cantik sudah menjadi syarat wajib bagi para wanita untuk menunjang karir tidak hanya dalam dunia pekerjaan, namun juga dalam dunia pendidikan. Hal ini yang menjadi masalah karena persepsi para pelajar yang salah kaprah dalam memposisikan kecantikan lebih utama daripada pendidikan. Daya tarik penampilan fisik lebih diutamakan daripada prestasi di sekolah (Gunarsa & Gunarsa, 2009: 47). Sekolah sudah menjadi surga bagi anak-anak cantik dan populer jika dibandingkan dengan ana-anak yang berprestasi. Tujuan mereka ingin masuk sekolah favorit hanyalah untuk numpang tenar dibanding numpang belajar. Mereka lebih malu jika dipandang jelek daripada dihukum didepan kelas karena tidak bisa mengerjakan soal. Mereka akan sedih jika dianggap berkulit hitam, jelek dan berjerawat daripada mendapat nilai nol. Uang saku yang mereka terima lebih digunakan untuk membeli produk penunjang kecantikan daripada harus dibelikan buku-buku pengetahuan. Remaja putri paling banyak membelanjakan uangnya untuk membeli kosmetika dan alat-alat yang dapat membantu memelihara kecantikan (Loudon dam Bitta. 1988:.108). Dukungan sosial, popularitas, pemilihan teman hidup dan karier dipengaruhi oleh daya tarik seseorang" (Hurlock, 1995: 219). Intimidasi terjadi di kalangan perempuan dan alasan satu-satunya adalah tentang kecantikan.





Kesimpulan
Budaya massa menjadikan wanita sebagai konsumen akut produk-produk kecantikan terutama yang berbasis whitening cream atau krim pemutih. Banyak produk kecantikan, terutama whitening cream, beredar di pasaran tanpa adanya ijin resmi dari BPOM yang mana sangat berbahaya dan mengancam kesehatan. Namun wanita tidak bisa lepas dari belenggu tersebut yang memposisikan dirinya sebagai konsumen yang statusnya merupakan korban iklan. Wanita dianggap lemah dan mudah terperdaya oleh iklan produk kecantikan yang mengeksploitasi diri mereka, dalam kata lain, wanita adalah korban industri kapitalis. Definisi cantik sudah berubah menjadi alat kapitalisme untuk meraup keuntungan besar-besaran yang dimediakan melalui perempuan. Penggunaan whitening beauty yang sudah menjadi budaya massa memberikan efek negatif yakni adanya stereotype bahwa cantik adalah bukan tentang inner beauty yang terdeskripsikan tidak hanya melalui kecantikan namun behaviour atau perilaku, melainkan outer beauty atau kecantikan yang hanya nampak dari penampilan luar.
Kosmetika membentuk tubuh perempuan sebagai lahan eksploitasi komoditi yang bernilai tinggi untuk mendongkrak bisnis kapitalisme. Media massa yang meluncurkan kemasan iklan berkelas tinggi mampu menggoda dan mendoktrin perempuan untuk memiliki sifat konsumtif. Mereka akan selalu mengkonsumsi kosmetik yang disetarakan sebagai narkoba yang siap untuk membuat mereka kecanduan. Sikap iri, selalu ingin menjadi nomer satu dan terdepan, menimbulkan wanita selalu berada pada kompetisi tiada batas dimana mereka berlomba-lomba untuk mengikuti yang satu dan mengalahkan yang lain. Wanita merupakan juara makhluk ekonomi yang tidak akan pernah merasa puas atas apa yang dicapai dan dimilikinya, terutama tentang kecantikan dan penampilan.
Kecantikan hanya menjadi mitos yang mengikuti prekembangan budaya massa dan tidak pernah memiliki difinisi paten. Saat ini, kecantikan di identikkan dengan budaya barat, terutama budaya Korea, yang mengedepankan rambut panjang lurus, hidung mancung, alis tebal, bibir merah, tubuh ramping dan kulit putih merona. Bagi mereka yang berkelas atas, akan rela menghabiskan berjuta hingga miliaran rupiah untuk menunjang kecantikan mereka, namun tidak untuk para kelas menengah. Wanita kelas menengah cenderung memilih produk penunjang kecantikan yang murah namun menawarkan hasil secepat kilat. Dipilihlah whitening cream abal-abal yang banyak mengandung merkuri dan zat-zat kimia lain yang siap menghancurkan bagian tubuh mereka yang lain. Sedangkan Indonesia adalah negara berkembang yang didominasi oleh keberadaan para kaum kelas menengah yang mudah terperdaya dan terpengaruh oleh hal-hal yang berbau mewah, trendy, moderen, dan up-to-date. Kecenderungan mereka melakukan mimikri terhadap kelas atas semakin memperosotkan harga diri mereka sebagai kalangan kelas menengah karena kegagalan mereka meniru budaya kelas atas.
Pendidikan kritis sangat perlu diajarkan untuk para anak muda agar mereka selalu memilin-milin setiap budaya yang akan mereka tanam bersandingan dengan budaya asli mereka. Sungguh ironi nasib Indonesia jika para generasi mudanya hanya asyik memperhatikan penampilan, bersifat konsumtif daripada produktif. Indonesia hanya akan menjadi korban kekejaman kaum kapitalis. Indonesia masih dijajah dan akan selalu dijajah bukan lagi melalui penderitaan fisik namun siksaan racun yang ada dalam otak kita untuk selalu takluk pada kapitalisme. Semakin banyaknya anak "alay" menggambarkan bahwa bagaimana negara ini hancur secara perlahan. Kaum muda dirusak pandangan dan cara pikirnya melalui penggunaan whitening cream, hanyalah awal dari kehancuran selanjutnya yang berkepanjangan. Karena anak muda dianggap "labil" dan masih mencari jati dirinya sendiri. Dalam pencarian yang panjang inilah kesempatan kapitalisme untuk masuk menyerang para generasi muda kita.

Daftar Pustaka
Badan POM Republik Indonesia, 2009, Public Warning tentang Kosmetik mengandung Bahan Berbahaya/Bahan Dilarang, 1-2.
Dhamayanti, Damita, 2011. Persepsi Pekerja Wanita pada Iklan Televisi Produk Kecantikan. Universitas Indonesia.
Gunarsa, Singgih & Gunarsa, Y Singgih. 2009. Psikologi Remaja. Jakarta: Gunung Mulia.
Hurlock, E.B. 1995. Psikologi Perkembangan:Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: Isti Widayanti dan Sujarwo. Jakarta: Erlangga.
Katya, Wili Sarah, 2014. Analisis Hidrokuinon dalam Sediaan Krim Malam "CW1" dan "CW2" dari Klinik Kecantikan "N" dan "E" di Kabupaten Sidoarjo. Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.
Loudon, D & Bitta, A.J.D. 1988. Consumer Behavior. New York: Mc Graw Hill International Company.
Mastura, 2010. Analisis Sikap Konsumen dalam Menggunakan Cream Pemutih Wajah Merk Ponds. Universiatas Islam Riau.
Nur, M & Riezky, Yermia. 2013. Cantiknya Sementara Rusaknya Permanen: Bahaya Kosmetika Ilegal. Majalah Batampos.
Pratiwi, Dinda Surya, 2011.  Hubungan Konsep Diri Remaja Putri 
Dengan Perilaku Membeli Produk Kosmetik Pemutih Wajah. Universitas Negeri Semarang.
Rukmawati, Deni Ria & Dzulkarnain, Iskandar, 2015.  Konstruksi Kecantikan Di Kalangan Wanita Karier (Di Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan). Dimensi.
Samuel, Hanneman, 2012. Peter L. Berger Sebuah Pengantar Ringkas, Depok: KEPIK.
Syata, Novitalista, 2012. Makna Cantik di Kalangan Mahasiswa dalam Prespektif Fenomenologi, PDF. Makassar : Universitas Hasanuddin.

Sunday, December 13, 2015

5 Action Codes of Roland Barthes (French Theory) in Ever After Movie

5 Action Codes of Roland Barthes (French Theory) in Ever After Movie
1.      Hermeneutic Code (The Voice of The Truth – The Enigma)
Is the way the story avoids telling the truth or revealing all of facts, in order to drop clues throughout that will add to the mystery. It is entitles or elements that articulate a question and its answer, as well as events that prepare the question or delay the answer.
-          The death of Danielle’s death is never explained clearly to the audience until the movie ends. The reason may be to construct the tension of the audience or it does not important to be explained which does not give any more influence toward the story. So, it is so confusing when Danielle’s father holding his hand then holding his stomach or probably his chest. What is the connection of hand and stomach or chest actually. It is not clear and extremely contrast even if it is probably heart attack.
-          Danielle’s father says “I love you” to Danielle only. The audience may be curious why it happens. Doesn’t Danielle’s father love his Baroness? Does he marry her perforce? It is not explained.
-          The reason why Prince Henry must do the marriage treaty is still kept from the audience. Although it may be because political interest but the real reason is still a secret.
-          Jacqueline’s treat to Danielle is quiet different with her mother and sister. Why? The reason is not constructed also to the audience.
2.      Proairotic Code (Empirical Voice)
Is the way the tension is built up and the audience is left guessing what will happen next.
It is like a puzzle that drives the audiences to arrange it if they want to know the next story. It often creates the tension of the audience. This code is different with hermeneutic because the audience’s question is answered by the next action in the movie.
-          Leonardo da Vinci says that painting is his life. It is an exaggeration. Audience will guest what happens next. And the answer is Prince Henry helps Leonardo to retake the painting.
-          When Henry begins to be attracted with the beauty of Maguerite, it may increase the audience’s tension to feel either dissatisfied or angry. Then, the answer is clear in the next action that it is not a love like Henry and Danielle have.
3.      Semic Code (The Voice of The Person - Intertextuality)
Points to any element in the text that suggests a particular, often additional, meaning by way of connotation which the story suggest. It is the connotations of the characters (a person, a place or an object).
      The use of idiom : “two peas in a pod”
It means very similar, especially in appearance.
      The use of parable : “a sapling cannot grow in the shadow of a mighty oak, Francis. He needs sunlight.”
      Forgive me, Your Highness. I did not see you. Your aim would suggest otherwise. And for that I know I must die.” This sentence is always used to pay homage or to respect the Royals.
4.      The Symbolic Code (The Voice of Symbols)
Is similar to the Semic Code, however, it acts on wider level-organizing Semic meaning into broader and deeper sets of meaning.
      Danielle de Barbarac
            - Humble
            - Poor
            - Servant
      Prince Henry
            - Arrogant
            - Rich
            - Prince
5.      The Cultural Code (The Voice of Social Knowledge)
Looks at the audience wider cultural knowledge, morality and ideology. This gives more context and meaning to the text. It references how we think of the world, and how we think it works.
      Waving hand in the gate
      Rodmilla : Marguerite, precious... ...what do I always say about tone?

Nobility had to have good manners at that time.

Narrative Theory of Valdimir Propp in Legally Blonde Movie

Narrative Theory of Valdimir Propp in Legally Blonde Movie
1.      The villain : Vivian Kensington
            Vivian is categorized as the villain because she tries to stop the progress of the hero.
Elle      : “I'm here to join your study group. And look! I brought sustenance!”
Vivian : “Our group is full.”
In fact, there is still one place for Elle to join that group, but Vivian directly behaves like a leader in which represents all members of that group to deny Elle. It might be because Vivian doesn’t want Elle to get closer with Warner again and to get more knowledge about law in order to push her as a permanent joke only in Harvard Law School.
2.      The hero    : Elle Woods
            Elle is both the main character and the hero in this movie. At first, she looks nothing, but in the end, she has resolved some problems that this movie constructs. She helps Pulette to take her dog back from Paulette’s ex-husband. She also wins the case and frees Brooke in which placing Brooke as the murderer of her husband by integrating critical thinking and fashion knowledge that she has. So, the hero reflates everything nicely.
3.      The donor  : Elle’s fashion sense and accessories
            Elle has a good fashion sense and knowledge which help her passing every bad moment and problem that she gets. Her defence for Brook either against a man which pretends to be Brook’s spouse or Windham’s daughter is won by her fashion knowledge. So, Elle’s fashion and accessories are like a magic which inverts her from a bad situation into a better situation.
4.      The helper             : Emmett Richmond
            Elle meets her helper, Emmet, in unintentional moment. They get closer as a mutualism symbiosis and never get contra. Emmet always supports the hero, Elle, every moment when she needs a help, for instance driving her to interogerate Windham’s ex-wife, increasing her self-confidence when she is afraid standing in the court to start her defence for Brooke, and Emmet tries to defend her when she determines to quit from Law school because of Callahan impishness. In the other way, Elle helps Emmet also by analyzing the type of knowledge fashion that Brooke’s witness has, as a homosexual man in which Emmett wins his case.
5.      The prince             : Emmet Richmond
            Emmet is a reward for Elle,the hero. He is the happiness which the hero gets after passing the villain’s scheme in the difficult way. Elle herself is the princess and Emmet is her prince. The stronger evidence is when Emmet finally proposes Elle as her spouse in the end of the story. In the other hand, Warner, her ex-boyfriend that firstly she wants to get him back, is refused by her appropriately at the time when he offers to walk out with Elle again.
6.      Her mother            : Professor Stromwell
            Professor Stromwell appreciates and congratulates Elle’s efforts with rewarding her as top student of the year.
7.       The dispatcher      : Paulette Bonafonte
            Paulette is the only one who advises the hero to steal Warner back from Vivian. Paulette unintentionally places the hero on a mission which contains many problems and conflicts that must be done to reach the goal.
8.       The false heroes   : Professor Callahan and Warner Huntington the Third
            As the false hero, he has reflected as a real hero perfectly in the beginning. Elle supposes that Professor Callahan deserves her as an intelligent and professional lawyer, but in fact, he just likes the way Elle looks, even he tries to feel her up.

Legally Blonde : Formalism

Major Characters         :
-          Elle Woods : a bubbly, intelligent, and outgoing sorority girl, A very pretty, smart and sweet young woman who decides to completely change her life and go to Harvard law School, in order to follow her boyfriend, who has decided to break up with her.
-          Emmett Richmond : a young attorney and Professor Callahan’s assistant.
-          Warner Huntington III : Elle’s boyfriend, who is both snobby and shallow, who decides to leave her because he feels he needs to find a more serious looking girlfriend
that will help him with his future career in politics.
-          Vivian Kensington : a law student, Warner’s new girlfriend at Harvard, Warner’s fiancee, who at first treats Elle very poorly.
-          Professor Callahan : A criminal defense lawyer and Professor at Harvard, who is hired to
defend Brooke, and who agrees to let Elle work as an intern on the case.
-          Paulette Bonafonte (and later Parcelle) : An insecure working class hairdresser, Elle’s manicurist and confidante
-          Brooke Taylor-Windham : a famous fitness instructor accused of murdering her husband
·         Other Characters         :
-          Professor Stromwell : a Harvard law professor
-          Margot and Serena : fellow sorority sisters and  close friends of Elle
-          “Dorky” David Kidney : a law student
-          Chutney Windham : Brooke’s stepdaughter
-          Mrs. Windham-Vandermark : Chutney’s mother and Mr. Windham’s ex-wife
-          Unnamed delivery man of Paulette
·         Protagonist      :
-          Elle Woods
·         Antagonist
-          Vivian Kensington

Theme : Romantic Comedy
Setting :
a.       Place :


-          Delta nu sorority cu los angeles
-          Int. Sunset plaza boutique
-          Delta gamma house
-          The ivy
-          Upscale manicure shop
-          Counselor's office
-          Elle's delta gamma room
-          Woods' bel air backyard
-          Delta gamma house - living room
-          Woods backyard pool
-          Library study room
-           harvard university
-          Auditorium
-          Harvard law admissions office
-          Woods' backyard
-          Harvard dorm
-          Law school quad
-          Elle's dorm room
-          Law school hallway
-          Civil procedures class
-          Beauty oasis
-          Study lounge
-          Harvard law library
-          Bridal shop
-          Off-campus house – porch
-          At the bar
-          Off-campus house – kitchen
-          Harvard bookstore
-          Donovan's class
-          Elle's car
-          In the trailer
-          Lobby
-          Boston jail
-          Conference room
-          Courthouse
-          Jail waiting room
-          Courthouse foyer



b.      Time :
-          Night
-          Later
-          A moment later
Plot      :
-          Exposition :
      The introduction of Elle Woods, as the main character, and her boyfriend, Warner Huntington III starts the story. A date which Elle supposes to be an engagement unexpectedly breaks up her relationship between her and Warner, because she is nothing for Warner’s East-Coast blue blood family. Elle is not smart enough and can’t be more serious who will be appropriate to be Warner’s spouse.
-          Rising Action :
      Elle Woods tries to win Warner back by entering Law Harvard University. She successfully reaches her goal with scores 179, but unfortunately, Warner just has a fiancee, Vivian Kensington. Vivian always
-          Climax       :
      Elle can’t to retrain when Vivian tries to embarrass her by trapping in a costume party in which it’s not a costume party actually. There, she also has to hear the explanation of Warner that she is not really appropriate in Law School and not smart enough to be qualified as a lawyer or senator. Elle realizes that Warner never respects her rather than assumes her as a dumb-blonde girl only.
-          Falling Action :
      Elle doesn’t keep silent. She studies hard and impresses her professors and classmates in many occasions, proving herself enough for Vivian to consider her a threat, and wins an internship with Professor Callahan, as do Warner and Vivian. Even she also wins her first case as an attorney to defend Brooke Taylor-Windham, a famous fitness instructor and a member of her sorority, accused as the murderer of her husband.
-          Resolution

      Elle has graduated with high honors and invited into one of Boston’s best law firms. Vivian is now Elle’s bestfriend and has called off her engagement with Warner, who graduated without honors, no girlfriend, and no job offers. Finally, Emmett has started his own practice,is now Elle’s boyfriend, and will propose to her that night.