Saturday, June 27, 2015

Angelku yang Cantik (Short Story about A Mother)


                Awal liburan semester duaku telah tiba. Semua mahasiswa mungkin sedang menikmati liburannya dengan bekerja atau berwisata. Namun aku hanya berlibur dirumah sakit. Ibuku sakit dan tak kunjung sembuh. Resep dokter langganan yang biasanya bisa menyembuhkan sakit lambungnya, entah kenapa tidak bereaksi kali ini. Kami sekeluarga pun memutuskan untuk pergi ke rumah sakit lain. Setelah tes darah lengkap, ibu pulang bersama bapak dengan membawa hasil laboratorium. Aku kaget melihat ibu bilang, ‘Yok opo iki Mbak Acis?’ sambil menangis. Beliau menyodorkan hasil tes kepadaku. Aku bertanya ada apa tapi tidak ada respon dan beliau hanya mengusap air matanya. Aku melihat hasil lab dan kaget setengah mati. Setelah membaca ‘Diagnosa : leukemia atau diagnosa banding infeksi bakteri berat; Saran : BMA’, Aku langsung lemas dan teringat pada beberapa bulan yang lalu. Sahabatku, Agnes dan abi dari sahabatku Afri, telah meninggal akibat kanker. Dalam hatiku aku berkata : "Ya Allah, apa semua ini". Aku coba cek ulang dan semuanya normal kecuali White Blood Cell yang sedikit melebihi batas normal dan hemoglobin yang dibawah normal.
                Aku berusaha menenangkan ibu. Setelah itu, aku cepat-cepat mengecek di internet tentang leukemia dan apa arti BMA. Ternyata, BMA adalah Bone Marrow Aspiration. Artinya ibu harus segera tes sumsum tulang belakang untuk membuktikan apakah benar itu leukemia atau tidak. Dulu, Agnes sampai lemas dan kesakitan akibat tes itu. Dan apakah ibuku harus merasakan rasa sakit itu juga? Aku bertanya dalam hatiku. Aku menangis sepanjang malam. Melihat diagnosa jenis kankernya, itu termasuk leukemia akut dan hanya bisa bertahan sekitar enam bulan. Betapa kagetnya aku dan membuat air mataku keluar semakin deras.
                "No, God. I love my mom. Don't take her back to You," aku berteriak pelan.
                Akhirnya aku memutuskan untuk memberitahu bapak atas apa yang aku baca di internet dan mendorong beliau untuk cepat membawa ibu ke rumah sakit terbaik untuk tes sumsum tulang belakang. Mendengar hal itu, beliau kaget tidak percaya separah itukah ibu. Bapak mengeluh perutnya sakit dan keluar masuk kamar mandi. Begitulah respon tubuh beliau saat mendengar sesuatu yang buruk dan membuatnya sedih. Beliau tidak berhenti menangis.
                "Yok opo iki, nak. Yok opo ibukmu? Sakno ibukmu, nak. Bapak gak isok nek gak onok ibukmu. Opo tombohe, nak. Tolong dolekno nang internet yok opo, nak," bapak memohon sambil kita menangis bersama.
                Disitulah cerita kami dimulai. Air mata, perjuangan, kesedihan dan doa mengiringi langkah kami dalam menyembuhkan ibu. Ibu adalah orang yang menurut kami baik. Beliau sangat suka mendalami ilmu agama. Beliau telah memutuskan untuk menutup aurat. Beliau suka sekali dengan Al Quran, bahkan hafal beberapa juz yang berhasil membuatku kagum. Bersedekah adalah hobinya. Semua tetangga kami sangat menghormati dan menyayangi beliau. Bahkan beberapa dari mereka terpengaruh untuk sholat dan mengaji bersama karena ingin seperti beliau yang sangat lurus terhadap agama. Kami sekeluarga suka berbagi ilmu. Jika sore hari, aku, ibu, bapak, adek dan mbah membicarakan tentang kehidupan, agama dan berbagai macam hal yang tidak sengaja menjadi topik pembicaraan yang asyik. Dalam keluarga, aku ibarat pemain ludruk. Akulah pencipta humor yang berhasil membuat semua orang tertawa. Banyak orang yang iri dengan keharmonisan keluarga kami.
                Aku banyak mengajari ibu tentang berbagai hal, seperti bagaimana seharusnya seorang istri, seorang ibu, bagaimana menjalani hidup, bagaimana hidup dalam bertetangga, bagaimana kewajiban seorang istri pada suami, dan tentang kepemimpinan. Jika ditanya siapa orang di balik semua ini, aku akan jawab, Bayu Anggoro bin Sahit. Ya, dialah pasanganku yang mengajarkanku banyak hal seperti apa yang aku tahu sekarang. Aku mengagumi dan mencintainya.
                Sekitar tujuh kali ibu keluar masuk rumah sakit. Dan akulah teman setianya. Aku rela menghabiskan liburan tiga bulanku hanya untuk menunggu ibu dirumah sakit. Aku jarang pulang kerumah. Ibu manja sekali waktu sakit. Beliau hampir mendapatkan semua perhatian yang dia inginkan dari orang-orang terdekatnya. Fisiknya memang tidak terlihat seperti orang sakit, namun sering mengeluh sakit di bagian perut dan panas di seluruh tubuh. Beliau sangat senang sekali jika aku menemaninya. Karena aku selalu mengajak beliau bercanda sampai beliau benar-benar ketawa.
                'Mbak Acis' bisa di bilang panggilan sayangnya kepadaku. Aku senang sekali jika ibu memanggilku begitu. Aku bisa merasakan kasih sayangnya yang besar. Yang tak akan pernah tergantikan oleh siapapun. She is my angel. Namun ada satu kekurangan beliau. Beliau adalah orang yang suka panik, tidak bisa tenang jika sesuatu yang buruk terjadi. Saat sakit beliau sering membuatku sedikit marah karena kepanikannya. Beliau kurang sabar. Beliau suka mikir yang tidak-tidak. Ketika sakit entah berapa liter air mata yang beliau keluarkan.
                Saat opname dirumah sakit yang ketujuh, kondisi beliau tidak semakin baik. Sayangnya aku sudah masuk kuliah. Jadi tidak bisa menemani beliau dirumah sakit. Di akhir hari kuliah, aku ngebut menuju rumah sakit. Aku sudah kangen sama angel ku yang cantik. Kondisi beliau terlihat semakin buruk. Beliau sulit bicara, minum dan makan karena tenggorokannya sakit. Mata beliau merah. Tubuhnya bengkak karena harus selalu di infus. Aku memimpinnya untuk minum dan makan pelan-pelan. Aku sedih melihat semua ini, tapi aku yakin ibu akan sembuh. Beliau terus menangis dan meminta untuk pulang. Namun kami tidak mengijinkannya. Beliau berkata kalau ingin meninggal dirumah. Saat itu aku hanya berpikir kalau ibu hanya sedang panik karena seluruh tubuhnya sakit.
                “Buk, tadi di kampus ada anak wisuda. Mereka sama keluarganya. Buk, aku pengen banget, Buk, wisuda sama ibuk. Makane pean cepet sembuh biar bisa lihat wisudaku, Buk,” kataku sambil menangis di samping beliau. Namun beliau hanya mendengarkan dan membalas permintaanku dengan senyuman.
                Esok harinya aku harus pulang karena menunggu arisan di rumah. Aku ajak ibu untuk seka dan gosok gigi. Tapi beliau menolak karena tak kuasa merasakan tubuhnya yang sakit semua. Akhirnya beliau mau saat aku berusaha membujuknya. Namun beliau hanya mau gosok gigi. Setelah gosok gigi, beliau berkaca di cermin dan bilang, “Mbak Acis mataku kok merah yo Mbak Acis.” Aku hanya menjawab mungkin itu efek obat karena aku sudah menanyakan semua keluhan ibu pada suster. Aku pun mengambil air hangat dan menyeka tubuh beliau. Mengajaknya untuk duduk melihat televisi, namun beliau menolak dan memilih berbaring.
                Setelah sampai dirumah, tiba-tiba hatiku tidak enak. Aku menelepon bapak dan menanyakan kabar ibu. Air mata keluar begitu saja ketika aku bilang,”Pak, tolong jogoen ibu, Pak. Ajak en orange bercanda ben gak sedih dan lupa sama penyakitnya.” Bapak hanya bilang ibu tidak apa-apa dan aku disuruh mendoakan. Aku pun menangis di tempat tidur dan memutar koleksi laguku yang mengisahkan tentang ‘ibu’.Entah kenapa rasanya aku ingin kembali ke rumah sakit.
                Namun benar firasatku. Bapak menelepon kembali dan bilang ibu tidak sadar. Aku ngebut ke rumah sakit bersama pakde dan adek. Aku langsung menangis dan menciumi angel ku yang cantik yang hanya terbaring dan bernafas dengan alat bantu. Aku ambil air wudhu dan membacakan beliau surat Yasin. Bapak melakukan hal yang sama sambil menangis juga.
                Namun semua itu  hanya berlangsung 1 jam. Suara nafas beliau yang tadinya bisa aku dengar, tiba-tiba menghilang. Aku coba mengecek nadinya, ternyata sudah tidak berdetak lagi. Aku cepat menyuruh bapak panggil dokter atau suster yang ada. Benar, ibu baru saja pergi meninggalkan kita semua. Semua orang berteriak dan menangis. Aku hanya bingung, secepat itukah ibu pergi? Tinggal beberapa bulan lagi ibu akan menginjak umur 38 tahun. Dan menurutku itu usia yang masih sangat muda. beliau hanya menemaniku 20 tahun lebih 3 bulan, bahkan hanya menemani adek 9 tahun lebih 1 bulan.
                Dokter telah menutup seluruh tubuh ibu dengan kain putih untuk dimasukkan ambulance. Aku selalu bersama ibu dan bahkan menolak jemputan pasanganku. Aku hanya ingin bersama ibu untuk yang terakhir kalinya. Di ambulance aku hanya bisa diam dan melamun. Seakan tidak percaya apa semua ini benar-benar nyata ataukah mimpi. Gang rumahku sudah dipenuhi orang. Mereka semua berjalan di belakang ambulance  untuk memberi penghormatan terakhir pada ibu. Aku melihat pasanganku berada di barisan terdepan bersama neneknya. Itu mirip seperti upacara pernikahan, namun upacara pemakaman yang akan terjadi kali ini.
                Semua orang berteriak dan memelukku. Aku hanya bisa menangis dan membalas pelukan mereka dengan erat. Aku berusaha untuk melihat ibu yang sudah dibaringkan namun orang-orang melarang karena takut aku akan tidak kuat. Aku berusaha melepaskan tarikan mereka dan mencium pipi, kening, dan bibir ibu. Lalu aku ditariknya kembali. Namun aku belum merasa puas. Aku berkata sambil menangis, “aku pengen cium ibuk, aku pengen cium ibuk sekali lagi.” Dan akhirnya aku berhasil mencium beliau lagi.
                Aku berusaha untuk kuat. Aku ingin merawat ibu untuk yang terakhir kali. Ku ambil kerudung di dalam lemari untuk ikut memandikan beliau. Namun sekali lagi, orang-orang melarang karena takut aku tidak kuat. Aku tidak pedulikan itu. Ini kesempatan terakhirku! Aku tidak mau menyia-nyiakan ini semua. Ku dengar semua orang memuji kecantikan ibu saat dimandikan. Semua orang bilang ibu seperti sedang tidur, bukan seperti  orang meninggal yang pucat pasi. Dalam hati aku menyuruh ibu untuk bangun. Aku ingin kebesaran Allah membangunkan ibuku lagi. Tapi itu sia-sia. Tangan ibu jatuh di tanganku saat dimandikan. Aku menangkapnya dan memeganginya. Sentuhan itu seolah ibu sedang bilang bahwa beliau tidak ingin berpisah denganku.
                Aku selalu berada di barisan terdepan dalam mengkafani, menyolatkan dan memakamkannya. Sekali lagi, aku meminta untuk mencium ibu saat sedang mengkafani beliau. Kembali aku cium kening, pipi dan bibir beliau. Aku sangat ingin beliau tau bahwa aku sangat mencintainya. Aku bahkan tetap berharap beliau bangun lagi saat pelan-pelan orang memasukkannya ke liang lahat.

                Aku sempat membenci Tuhanku. Aku ingin ibu hidup lagi. Bahkan sampai sekarang aku masih memohon kepada Tuhan untuk menghidupkan ibuku kembali. Mungkin semua orang akan bilang aku gila. Namun aku percaya tidak ada yang tidak mungkin untuk Allah SWT bahkan jika itu adalah hal yag tidak bisa diterima oleh akal manusia sekalipun.








I LOVE YOU MOM

No comments:

Post a Comment